WELCOME to this blog !

WAJIB BACA ! !

Suka gak Suka . . . .
Inilah Blog Gue..

FB : tika.atiko@ymail.com
E-mail : tika.atiko@ymail.com
Twitter : tika.atiko@ymail.com
Blog : tiikaabasket_14@rocketmail.com

Silahkan melanjutkan tujuan Anda tanpa merusak apapun yang ada disini. Anda sopan, kami pun senang
. . . . .

Kamis, 03 Februari 2011

My First Novel

You Are Not Alone


          “Nggaaak…….!!” tiba-tiba Rara terbangun dari mimpinya yang sangat buruk. Ia sejenak mengamati seluruh apa yang dilihatnya.
          “Huff, mimpi doang ternyata. Payah..!!” lalu ia menyingkupkan lagi selimut teddy bear-nya yang sangat disayanginya itu. Namun ternyata ia tidak bisa memejamkan kembali kedua matanya. Ia masih terngiang-ngiang akan mimpinya barusan.

          “Udahlah Ra, aku nggak bisa lagi ngelanjutin hubungan kita ini. Aku udah terlanjur kecewa sama kamu. Jalan yang terbaik hanyalah berpisah.”
          ”Nggak Do, aku nggak mau. Aku sayang banget sama kamu. Aku nggak mau kita putus. Terlalu berat tau. Aku mohon maafin Rara ya, Do. Pliss..”
          Hujan pun seolah tak mengindahkan dua insan yang sedang bertengkar ini. Dido, sudah terlalu marah pada Rara.
          ”Aku udah pesen tiket ke Jogja. Aku udah putusin ini,” kata Dido dingin. ”Dan kamu, sekarang bebas Rara. Aku nggak akan hadir di hidupmu lagi. Lupain aja semua yang pernah terjadi. Kita nggak ada hubungan apa-apa, sekarang.”
          Dido pun berjalan meninggalkan Rara yang terpaku dibelakangnya. Hujan masih saja membasahi adegan ini.
          ”Do..” Rara memegang tangan Dido yang sedang membelakangi dirinya. “Apa kamu bener-bener segitu gampangnya melupakan ini semua? Do, aku nggak bisa tanpa kamu. Aku... ak.. aku ikut kamu ke Jogja ya..? Kumohon Do, maafin Rara ya..”
          Namun Dido langsung menepis tangan yang sering dipegangnya itu. Dengan sedikit kasar malah. Lalu tanpa memandang Rara ia langsung pergi dari tempat yang penuh kenangan dirinya bersama gadis itu.

          Tiba-tiba Rara seperti menyadari sesuatu. “Oh my God..!! udah jam setengah delapan..!!” Rara langsung sadar dan melihat bekernya. “Geryyyyyyy….. !!!!!!!!!!”



JJJJJ


Satu


          Yayak dengan cekatan menyalin buku catatan PR milik Dena. Maklumlah, ia jarang mengerjakan PR-nya di rumah. Namun yang membuat heran adalah ia selalu berada di kelas yang lumayan favorit. Itu semua karena ia selau gigih nyontek sana-sini demi bisa tetap sekelas dengan orang yang sangat dicintainya, Fania. Yah, Fania adalah gadis cantik nan pintar yang sangat diidolakannya menjadi pacarnya. Karena itulah ia rela dating pagi-pagi hanya demi bisa menyontek buku PR milik Dena, temannya yang sangat berjasa itu. Sebab jika ia tidak mengerjakannya sekarang, nanti Fania keburu dating dan pamornya akan turun.

          Satu prestasinya dalam mendekati Fania adalah saat ban sepeda motor Fania bocor. Ia takkan bisa melupakan kejadian itu. Yang ada di otaknya hanyalah Fania, Fania, dan Fania. Lagipula yang ia tau Fania itu sedang free. Meski ia nggak tau dengan pasti sih.
          ”Eh, Yak. Tuh si Fania lagi jalan kesini tuh. Ntar dia tau jadi berabe lo,” Dena langsung mengingatkan Yayak dan sesegera mungkin mengambil buku PR-nya dari tangan si tukang nyontek itu.
          ”Yang bener nih?” Yayak langsung mengintip dari balik jendela kelasnya. Dan benar saja, gadis itu tengah melenggang menuju kelas 11 IPA B, yah tentu saja kelasnya dan juga kelas Yayak. Ia bersama dua sahabatnya, Mira dan Jessi.
          Sedangkan sebenarnya Fania dkk sendiri sedang ingin menuju perpustakaan, yang terletak di barat koridor kelasnya.
          “Lo berdua bantuin gue cari buku tentang galvanometer ya. Oke?” pinta Fania tanpa ragu kepada dua sejoli itu. Kedua temannya itu hanya mengangguk saja. Setibanya di perpustakaan, Fania segera berburu buku yang dicarinya. Sebenarnya tanpa minta dibantu fania oun sudah bisa dengan mudah mencari buku yang dimaksudnya.
          ”Fan, gue bingung deh sama lo. Kayaknya waktu kelas sepuluh dulu elo nggak pernah tuh rajin-rajin amat ke perpustakaan, apalagi ngebaca-baca buku eksak kayak gini. Tapi kenapa semenjak lo masuk di kelas IPA, semuanya jadi lain?” tanya Mira heran. Yah, memang dari mereka bertiga, hanya Fania yang berada di kelas IPA. Sedangkan Mira dan Jessi hanya berada di kelas IPS.
          Fania sejenak berhenti membaca buku itu. “Lo berdua gimana sih? bukannya bagus kalo gue udah mulai rajin?”
          “Ya nggak gitu sih, Cuma kan pasti ada alasannya kan Fan? Kenapa Fan? Lo cerita dong sama kita.”
          ”Iya Fan. Kita bertiga kan sahabatan dari SMP. Masa sama sahabat sendiri lo mau rahasia-rahasiaan sih,” Jessi ikut menimbalkan.
          ”Oke, oke. Gue ceritain ke elo berdua deh. Tapi jangan kasih tau siapa-siapa loh. Janji ya?” Fania segera menutup bukunya itu.
          ”Kita berdua janji kok,” kata Mira yang dibarengi dengan anggukan Jessi.

* * * * *

          Dari balik helm-nya Dido melihat bangunan tempatnya sekolah. Lalu ia turun dari motornya itu. Tiba-tiba Alex menghampirinya.
          ”Do, gawat Do. Gawat!!” kata Alex yang masih terengah-engah karena habis berlari.
“Lo kenapa sih? Apanya yang gawat?” kata Dido santai sembari melepas helm-nya itu. ”Apa yang terjadi?”
”Tim., tim basket SMA Ramadhana berhasil ngunggulin ngalahin tim kita. So pasti, SMA Ramadhana lolos kualifikasi grup, Do. Sedangkan kita harus ngalahin dua SMA lainnya kalo mau lolos dan lanjut di SBL <School Basketball League> ini,“ kata Alex serius.
“Apa? Kurang ajar..!! Kenapa tim kita bisa kalah? Bukannya secara teknik kita jauh lebih unggul ketimbang Ramadhana? Makanya gue sampai yakin buat ngelepas tim untuk main tanpa gue. Tapi kenapa kita malah kalah?” Dido nampak sangat marah.
”Se.. sebenarnya Do....,” Alex menghentikan perkataannya. Dido mencengkeram baju Alex.
”Sebenarnya kenapa Lex..?!”
”Sebenarnya ini sa.. ini salah Deni. Tolong lepaskan cengkeraman lo ini, bro.” Dido pun melepaskan cengkeramannya. ”Deni mengacaukan semuanya, Do. Dia menggantikan posisi elo dan nampaknya berpihak pada Ramadhana. Kalo nggak salah kan adiknya ada di Ramadhana. Gue juga nggak ngerti sama tu anak. Apalagi Ramadhana punya seorang Forward yang handal, Satrya Demasto.”
”Anak itu.. anak itu..” Dido mengepalkan tangannya dengan geram. “Gue yakin kita bakal ketemu Ramadhana di SBL nanti. Kasih tau gue, siapa lawan kita berikutnya, lex?”
“SMA Ganesha, Do.”
“Oke, siapkan tim sebaik-baiknya. Gue akan bilang sama Pak Danu buat pecat Deni. Kita babat Ganesha.” Dido pun berjalan meninggalkan parkiran motor.
“Tapi lo sekarang mau kemana? Ruangan Pak Danu kan disana?” tanya Alex yang kebingungan.
”Gue mau berbincang-bincang sama Deni,” kata Dido dingin. Lalu menghilang di balik koridor.
“Kayaknya bakal ada perang dunia nih.. gawat..” kata Alex sendiri dan segera berlari dari parkiran motor.

* * * * *

          “Rara mana?” Tanya Dido pada Fika, sahabat Rara.
          ”Dia nggak masuk, kak Dido,” jawab Fika yang sedang asyik membaca seri novelnya yang sudah berpuluh-puluh kali dibacanya dengan sabar.
          ”Hah? Gak masuk? Lo gak bohong?” Dido curiga.
          “Ya ampun kak, ngapain juga gue bohong. Gue juga gak ngerti sama tuh anak. Dia nelpon gue tadi sih katanya gara-gara telat, terus terlanjur males ke sekolah. Emang payah tu anak. Gue aj....” belum sempat Fika meneruskan kata-katanya, Dido sudah keburu keluar dari kelasnya. ”Ya sudahlah. Gak penting,” katanya sambil melanjutkan lagi novelnya.
          ”Dasar anak manja, telat aja trus nggak mau dateng ke sekolah, payah,” kata Dido sambil merogoh tasnya lalu mengambil kunci kontak motornya. ”Nggak ada Rara, ngapain sekolah. Mending gue cabut aja. Toh, di sekolah Cuma ngeliatin si penghianat Deni aja.” Lalu ia segera memakai helm dan sarung tangannya.

* * * * *

          ”Ya ampun.......!! Kakak kok babak belur gini sih? Kakak berantem sama siapa?” tanya Fania pada kakaknya, Deni, ketika Deni pulang dari sekolahnya.
          ”Gak usah urusin kakak. Kamu urusin urusan kamu aja. Kakak capek, mau istirahat. Jangan ganggu kakak.”
          ”Blaammmmm... !!” bunyi pintu kamar deni yang dibanting oleh pemiliknya itu. Sedangkan Fania hanya bengong melihat kakaknya yang nggak jelas itu.
          Deni langsung merebahkan dirinya di bed-nya. Ia memandangi sebuah foto yang dibingkai dengan bordiran relief dipinggir-pinggirnya.
          “Dido Irwin, masa kehancuran lo udah di depan mata. Lo nggak akan kepilih jadi kapten basket lagi. Dan semua yang lo punya bakal hilang dalam sekejap. Hahahaha....” kata Deni sembari mengelap pelipisnya yang berdarah akibat pemecatan tidak terhormat ala Dido di sekolah tadi. Dan kebenciannya pada cowok itu semakin bertambahlah sudah. Apalagi ditambah kejadian waktu dulu itu. Semua itu selalu dipendamnya sendiri.
          ”Kak..” kata Fania dari luar. ”Kakak belum makan siang loh. Fania khawatir kakak kenapa-napa.”
          ”Bodo..... !!” kata Deni ketus. Fania semakin bingung. Ia semakin tidak mengerti dengan tingkah kakaknya kali ini. Nggak biasanya Deni bersikap seperti itu. Padahal semenjak papa dan mamanya memutuskan untuk tinggal di Aussie, kakaknya itu sangat sayang padanya. Namun keketusan Deni tadi membuat Fania yakin bahwa sedang ada hal yang tidak beres.
          Tiba-tiba Handphone-nya berdering. SMS.
“oke..”

* * * * *

          “Huff, saatnya…” kata Yayak sambil mulai memencet bel di rumah yang sangat dikenalnya itu. Dan langsung keluarlah gadis yang sangat ditunggu-tunggunya itu.
          “Lo mau ngajak gue kemana, Yak?” tanya Fania yang nampaknya sudah siap keluar. Tentu saja ini memudahkan Yayak, ketimbang ia harus menunggu Fania ganti baju dulu. Bukan apa, tapi jika ia menunggu Fania ganti baju pasti kakaknya yang cerewet itu akan mengintrogasinya.
          ”Mmm, gue mau lo nemenin gue nyari buku tentang tugas kelas kita yang kemaren, Fan. Lo tau dimana stationery  yang jual buku itu?” Yayak mulai mengeluarkan jurus bohongnya.
          ”Ohh,, gue punya kok bukunya. Apa lo pinjem punya gue aja, Yak?” kata Fania polos.
          Duh, ni anak nggak ngerti-ngerti juga ya, kalo gue mau ngajakin nge-date. Gimana coba sekarang?
          ”Yak? Hello....” Fania coba menyadarkan Yayak dari lamunannya. ”Jadi pinjem gak?”
          ”Mmm, Fan. Gue gak biasa pinjem punya cewek. Apalagi gue lumayan pelupa, gitu. Kalo elo nggak mau nemenin gue gak papa kok. Gue bisa cari bareng Dena aja. Gue cabut ya Fan,” kata Yayak masih berharap.
         
          “Eh, Yak. Tunggu. Oke deh, gue temenin lo. Gue ambil jaket dulu ya, trus ijin sama kakak gue.”
          Akhirnya, berhasil juga. Semoga aja nggak ada trouble selama date gue nanti bareng Fania. Amin.
          Namun tiba-tiba ia mendapat SMS yang membuatnya sangat jengkel. Dari Akbar. Pak Dibyo menyuruh latihan dadakan dalam rangka lolosnya Ramadhana dari babak kualifikasi. Padahal ia sudah berhasil mengajak Fania dengan bermacam alasan. Dan sekarang malah ada latihan basket yang membuat semuanya kacau.
          “Yak, ayo kita berangkat,” kata Fania tiba-tiba.
          Duh, mau bilang apa gue? Padahal gue nggak pernah ngelihat Fania secantik ini sebelumnya. Masa gue bilang semuanya di cancel gitu aja? Nggak banget deh.
          “Aduh Fan, gue minta maaf banget sama lo. Ini emergency sih. Pak dibyo nyuruh latihan dadakan di sekolah. Kayaknya kita nggak bisa cari buku sekarang deh. Gimana nih?”
          ”Loh? Lo kok tanya gue sih Yak. Yodah kalo emang gitu. Lagian kan kamu mau latihan demi membela sekolah kita kan,” kata Fania nggak marah sedikit pun.
          Duh, ni anak nggak ada kecewa-kecewanya ya. Kayaknya emang dia nggak punya perasaan apa-apa tuh ke gue. Tapi ya udahlah, gue nggak bisa nyalahin dia. Emang gue aja yang kurang beruntung. Dasar Pak Dibyooo...!!!




to be continued.....